Selasa, 12 Juni 2012

KEADILAN SOSIAL


1. KEADILAN: Keseimbangan.

Adil disini berarti keadaan yang seimbang. Apabila kita melihat suatu sistem atau himpunan yang memiliki beragam bagian yang dibuat untuk tujuan tertentu, maka mesti ada sejumlah syarat, entah ukuran yang tepat pada setiap bagian dan pola kaitan antarbagian tersebut. Dengan terhimpunnya semua syarat itu, himpunan ini bisa bertahan, memberikan pengaruh yang diharapkan darinya, dan memenuhi tugas yang telah diletakkan untuknya.
Misalnya, setiap masyarakat yang ingin bertahan dan mapan harus berada dalam keadaan seimbang, taitu segala sesuatu yang ada di dalamnya harus muncul dalam proporsi yang semestinya, bukan dalam proporsi yang setara. Setiap masyarakat yang seimbang membutuhkan bermacam-macam aktifitas. Di antaranya adalah aktifitas ekonomi, politik, pendidikan, hukum, dan kebudayaan. Semua aktifitas itu harus didistribusikan di antara anggota masyarakat dan setiap anggota harus dimanfaatkan untuk suatu aktifitas secara proporsional.
Keseimbangan sosial mengharuskan kita untuk memerhatikan neraca kebutuhan. Lalu, kita mengkhususkan untuknya anggaran yang sesuai dan mengeluarkan sumber daya yang proporsional. Manakal sudah sampai disini, kita menghadapi persoalan “kemaslahatan”, yakni kemaslahatan masyarakat yang dengannya kelangsungan hidup “keseluruhan” dapat terpelihara. Hal ini lalu mendorong kita untuk memerhatikan tujuan-tujuan umum yang mesti dicapai. Dengan perspektif ini, “bagian” hanya menjadi perantara dan tidak memiliki perhitungan khusus.
Demikian pula halnya dengan keseimbangan fisik. Mobil, misalnya, dibuat untuk tujuan tertentu dan untkmkebutuhan-kebutuhan tertentu pula. Karenanya, apabila mobil itu hendak dibuat sebagau produk yang seimbang, mobil itu harus dirancang dari berbagai benda mengikuti ukuran yang proporsional dengan kepentingan dan kebutuhannya. Begitu pula halnya dengan keseimbangan kimiawi. Setiap senyawa kimiawi memiiki stuktur, pola, dan proporsional tertentu pada setiap unsur pembentuknya. Apabila hendak meniciptakan senyawa itu, kita mesti menjaga struktur dan proporsi di atas sehingga tercipta suatu keseimbangan dan simetris. Kalau tidak, alam tidak dapat tegak dengan baik, tidak pula ada sistem, perhitungan, dan perjalanan tertentu di dalamnya. Al-Qur’an menyatakan:
وَالسَّمَاءَ رَفَعَهَا وَوَضَعَ الْمِيزَانَ
Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca (keadilan). QS. Al-Rahman [55]: 7
Ketika membahas ayat di atas, para ahli tafsir menyebutkan bahwa yang dimaksud oleh ayat itu adalah keadaan yang tercipta secara seimbang. Segala obyek dan partikelnya telah diletakkan dalam ukuran yang semestinya. Tiap-tiap divisi diukur secara sangat cermat.
Dalam suatu hadis, Nabi Saw bersabda: “Dengan keadilan, tegaklah langit dan bumi.” (Tafsir Al-Shafi, tentang QS. Al-Rahman [55]: 7)
Lawan keadilan, dalam pengertian ini, adalah “ketidakseimbangan”, bukan “kezaliman”.
Banyak orang yang berupaya menjawab semua kemusykilan dalam keadilan Ilahi dari perspektif keseimbangan dan ketidakseimbangan alam, sebagai ganti dari perspektif keadailan dan kezaliman. Merteka puas dan berusaha untuk puas dengan pandangan bahwa semua diskriminasi yang terjadi, baik disertai alasan ataupun tidak, dan semua kejahatan yang ada, sebenarnya merupakan keharusan dan keniscayaan sistem alam yang menyeluruh. Tidak diragukan lagi bahwa eksistensi obyek tertentu merupakan keniscayaan bagi keseimbangan alam secara historis. Tetapi, solusi ini tidak menjawab keberatan seputar terjadinya kezaliman.
Kajian tentang keadilan dalam pengertian “keseimbangan”, sebagai lawan ketidakseimbangan, akan muncul jika kita melihat sistem alam sebagai keseluruhan. Sedangkan, kajian tentang keadilan dalam pengertian sebagai lawan kezaliman dan yang terjadi ketika kita melihat tiap-tiap individu secara terpisah-pisah adalah pembahasan yang lain lagi. Keadlian dalam pemgertian pertama menjadikan “maslahat umum” sebagai persoalan. Adapun keadilan dalam pengertian kedua menjadikan “hak individu” sebagai pokok persoalan. Karenanya, orang yang mengajukan keberatan akan kembali mengatakan, “Saya tidak menolak prinsip keseimbangan di seluruh alam, tapi saya mengatakan bahwa pemeliharaan terhadap keseibangan ini, mau tidak mau, akan mengakibatkan munculnya pengutamaan tanpa dasar (tarjih bila murajjih). Semua pemgutamaan ini, dari sudut pandang keseluruhan dapat diterima dan relevan. Tapi, dari sudut pandang individual, ia tetap tidak dapat diterima dan tidak relevan.”
Keadilan dalam pengertian “simetri” dan “proporsi” termasuk dalam konsekuensi sifat Mahabijak dan Maha Mengetahui Allah. Berdasarkan ilmu-Nya yang komprehensif dan kebijaksanaan-Nya yang meyeluruh. Dia mengetahui bahwa penciptaan sesuatu meniscayakan proporsi tertentu dari berbagai undur. Dia menyusun unsur-unsur itu untuk menciptakan bangunan tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar