Cerita anak jalanan seolah-olah tidak ada habisnya. Derita dan penyiksaan yang mereka alami, kerap menghantui dan mengintai setiap saat. Mereka harus berjuang di tengah kota yang kejam untuk mendapatkan sejumlah uang agar bertahan hidup.
Jual rokok, membersihkan bus umum, penjaja koran, atau apapun kerjaannya. Barangkali itu yang dapat mereka lakukan, dan mereka dapat kita jumpai di sudut terminal, jalanan atau tiap persimpangan kota besar.
Diantara mereka ada yang memang karena faktor ekonomi, putus sekolah atau persoalan rumah tangga serta kondisi orang tua. Tak sedikit dari mereka yang bertahan, karena faktor tersebut yang menyelimutinya. Walau tak sedikit juga mereka yang berada di komunitas tersebut karena faktor kenakalan atau kurang mendapat perhatian keluarga ataupun lingkungan.
Apapun keadaannya, mereka adalah komunitas anak jalanan yang patut untuk direnungkan eksistensi dan kelayakannya. Misalnya Herman (16), seorang pengamen yang sering mangkal di lampu merah Jalan Gunung Batu, Kota Cimahi, Jawa Barat.
Dirinya menuturkan tidak memiliki biaya untuk meneruskan sekolah, sementara ayahnya sudah meninggal dan ia harus mencari nafkah bagi ibu dan ketiga adiknya, ditambah kondisi sang ibu yang sering sakit-sakitan.
“Sebenarnya saya ingin sekolah dan belajar seperti anak lainnya. Tetapi, kondisi ekonomi keluarga yang memaksa saya harus turun ke jalan,” bebernya.
Berdasarkan pantauan, penggusuran terhadap anak jalanan kerap terjadi, entah karena alasan kenyaman dan keindahan sebuah daerah maupun faktor lain. Masalah yang ditimbulkan terkadang tak sedikit serta menimbulkan pro dan kontra dari berbagai pihak.
Menurut Hery Setiawan, Kepala Operasi Satpol PP, dirinya akan menangkap para anak jalanan (anjal), jika mereka sudah mengamen di tempat yang dilarang dan mengganggu ketertiban umum. Bila para anjal hanya berkumpul, tidak akan ditindak.
“Kita menangkap mereka jika mereka memang sedang mengamen dan mengganggu ketertiban umum, tentunya juga ditempat yang menjadi larangan bagi para pengamen, tukang becak, dan delman, seperti di Jalan Gandawijaya, Amir Machmud, Demang Hardjakusuma dan Jalan Djualeha Karmita hingga ke Alun-alun Kota Cimahi,” tegasnya.
Walaupun pengertian anak jalanan memiliki konotasi yang negatif, pada dasarnya dapat diartikan sebagai anak-anak yang bekerja di jalanan. Bukan sekedar bekerja di sela waktu luang untuk mendapatkan penghasilan, melainkan anak yang karena pekerjaannya tidak dapat tumbuh dan berkembang secara wajar, baik secara jasmani, rohani dan intelektual. Hal ini disebabkan antara lain karena jam kerja panjang, beban pekerjaan, atau lingkungan kerja.
Menurut Soerjono Soekanto, pakar sosial Indonesia dalam bukunya Pengantar Sosiologi menyebutkan, fenomena munculnya anak jalanan ini bukanlah karena adanya transformasi sistem sosial ekonomi dan masyarakat pertanian kemasyarakat praindustri atau karena proses industrialisasi. Namun, adanya transformasi sosial ekonomi masyarakat industrialisasi menuju masyarakat yang kapitalistik.
Kabag Humas Dinas Sosial Jawa Barat, Saefulloh, berpendapat bahwa masalah kemiskinan dianggap sebagai penyebab utama timbulnya anak jalanan ini. Hal ini dapat ditemukan dari latar belakang geografis, sosial ekonomi anak yang memang datang dari daerah-daerah dan keluarga miskin. “Banyak teori yang menjelaskan kontradiksi antara pembangunan dan keadilan pemerataan, desa dan kota. Namun demikian, kemiskinan bukanlah satu-satunya faktor penyebab timbulnya masalah anak jalanan,” ucapnya.
Kasus penggusuran, pelarangan, penangkapan, pemukulan yang menimpa anak-anak jalanan juga menjadi bukti bagaimana pembangunan memenangkan struktur formal yang bermodal dan mampu membayar pajak kepada negara. Sehingga public space of economy dikuasai dan dimonopoli oleh struktur formal serta formalisasi juga ditampilkan melalui praktek-praktek yang sama dengan legitimasi nilai bahwa pembangunan hanya akan berjalan akibat kontribusi sektor formal.
Misalnya kasus penembakan yang terjadi pada Firman di daerah Soekarno-Hatta, Bandung, beberapa waktu lalu oleh sekelompok orang tak dikenal. Asumsi dan dugaan bermunculan, karena mereka sering mengambil wilayah mengamen orang lain. Hal tersebut terjadi karena para anak jalanan tersebut lemah dan tak mampu untuk melawan.
Sementara sektor informal, dimana anak-anak jalanan tumbuh dan berkembang, sekali lagi dianggap sebagai sesuatu yang tidak menguntungkan. Potret pembangunan yang diskriminatif dan tidak berpihak pada masyarakat menengah, ikut berperan serta memunculkan hal ini. Ada banyak perangkat nilai, norma ataupun hukum yang selalu digunakan untuk mencari pembenaran terhadap tindakan itu.
Dari urutan di atas dapat dilihat betapa kompleksnya masalah anak jalanan ini. Sehingga penanggulan anak jalanan ini tidak hanya dapat dilakukan secara efektif bila semua pihak tidak ikut melakukannya seperti pemerintah, LSM, media, individu dan organisasi keagamaan.
Penanggulangan ini dapat dilakukan dengan melalui proram aksi langsung. Program ini biasanya ditujukan kepada kelompok sasarannya yaitu para anak jalanan, misalnya saja memberikan pendidikan non-formal, peningkatan pendapatan keluarga, pelayanan kesehatan, kemudian program peningkatan kesadaran masyarakat.
Menurut Soejono, masalah anak jalanan sangat kompleks dan menjadi masalah bersama. Masalah ini tidak dapat ditangani hanya oleh satu pihak saja, melainkan harus ditangani bersama-sama oleh berbagai pihak yang peduli. Dengan demikian kerja sama antara berbagai pihak mutlak diperlukan.
“Khusus mengenai aspek hukum yang melindungi anak jalanan yang terpaksa bekerja juga merupakan komponen yang perlu diperhatikan karena masih lemahnya peraturan dan undang-undang yang mengatur masalah ini,” pungkas Saefulloh.
sumber :http://regional.kompasiana.com/2011/06/21/penderitaan-anak-jalanan/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar